Dari Anak Kecil Menuju Masa Remajanya



Perubahan Rahmat
Aku anak terakhir dari 3 bersaudara yang kesemuanya adalah perempuan. Satu-satunya anak laki-laki yang terdekat adalah sepupu cowok dari pihak Mami. Itupun tua setahun daripadaku. Jadi wajar kalau aku nggak pernah tahu perubahan cowok itu kayak apa. Maksudku, perubahan dari seorang anak laki-laki menuju masa teenagers, kemudian beranjak dewasa. Seorang perempuan pun kita ketahui dari tibanya masa menstruasi. Itupun kita tidak mengetahuinya kalau kita tidak tahu langsung dari orang tersebut. Kalian bingung ya, sebenarnya aku mau bahas apa sih kali ini. Yup! Aku mau bahas soal ‘peralihan’ dari masa kanak menuju remaja melaluli sosok kita kali ini yaitu Rahmat.

Rahmat ini adalah anak kelas 2 smp. Orangtuanya adalah saudara dari abang ipar keduaku. Sewaktu masih ngekos dulu setiap minggu suka maen dan nginap di rumah mamanya yang aku panggil andung[1] jadilah aku akrab dengan si Rahmat. Kebetulan juga dia adalah anak tunggal, maka tak jarang mereka cukup senang dengan kehadiranku di rumah yang terletak di bilangan Limo, Depok tersebut. Tuturan dari tradisi budaya melayu yang membuat aku harus memanggilnya nenek, tapi terkadang beliau mengenalkanku sebagai keponakannya kalau bertemu dengan teman dan kenalan beliau.

Menginjak semester terakhir yang hanya tinggal skripsi dan beberapa mata kuliah pengganti saja, aku akhirnya memutuskan untuk berhenti ngekos dan pindah ke rumah kakak di Ciputat. Maka, akupun semakin jarang menginap lagi di rumah Depok. Karena jarak ke rumah andung lebih dekat dari kosanku yang terletak di Sawangan Depok. Lagipula, andung sempat ikut pindah tugas bersama suaminya ke Surabaya. Cuaca yang panas akhirnya membuat mereka pindah lagi ke Jakarta. Sekembalinya mereka ke Jakarta, aku sudah menyelesaikan studiku dengan pulang ke Medan. Akupun sempat berpetualangan di kota Pare, Kediri selama sebulan. Hal inilah yang membuatku jarang bertemu dengan si kecil Rahmat.

Enam bulan di Medan dengan status pengangguran membuatku bosan dan ingin kembali lagi ke ibukota. Itulah keunikan Jakarta, dengan segala permasalahannya, kebanjiran di setiap hujan yang mengguyur, bahkan banjir kiriman dari Bogor bisa membuat Jakarta tergenang beberapa saat. Belum lagi kemacetan yang terjadi di berbagai ruas jalan. Tapi bagi seorang yang pernah merasakan dan tinggal di kota ini lebih dari setahun saja, pasti akan merasa sebuah tarikan yang kuat untuk kembali ke kota ini. Hal itu juga terjadi padaku. Lebih kurang 4 tahun masa kuliah disini membuatku memutuskan untuk kembali. Sebenarnya ketika itu dreamjob lah yang membuat aku kesini, tetapi dasar belum rezeky dan Allah menggantinya dengan kegiatan yang merupakan passionku. Hal itulah yang menahanku kembali ke kota macet ini. Padahal di tahun akhir kuliah, sempat ada kata yang terucap dalam hati “sumpah ye, gw pengen cepat-cepat selesai aja ni, abis tamat gw nggak bakalan mau menginjakkan kaki gw disini lagi.” tapi apa, kuakui aku kualat. Pesona Jakarta terlalu kuat untuk ditolak. C’mon guys,this is capital of Indonesian. Apa lu mau, semua ada disini.

Kembalinya aku ke Jakarta, akhirnya membuatku kembali mengunjungi rumah andung.

“Na, ikut ‘lepeh-lepeh’ nggak hari  sabtu ini ke nikahannya teman kantor atok?” sebuah sms masuk ke hpku yang ternyata dari andung.
Wah, mau BANGET! Ntr jumat una ke rumah deh” balasku.

‘Lepeh-lepeh’ yang dimaksud andung adalah mendatangi sebuah kondangan di gedung yang biasa menyediakan berbagai masakan baik Indonesia maupun western secara prasmanan. Tobe honest, aku bukanlah seorang penggemar pesta, berbeda dengan kakak pertamaku yang memang maniak dan hobby ke Pesta. Alasannya adalah bisa bereksperimen dengan dandanan baik make up maupun gaun dan highheels yang dipakai. Karena harus dandan dan pake make up lah yang membuatku lebih mau tinggal di rumah dikelilingi buku-buku daripada ikut kondangan. Tapi semenjak, aku udah bisa sedikit dandan (baca: pake make up minimalis) dan ada keinginan untuk membuka cattering *ke kondangan mencari inspirasi menu apa yang lagi inn* membuatku berubah total dari pembenci menjadi pencinta kondangan *tak salah jika orang sering mengatakan, perbedaan antara benci dan cinta itu tipis.
Kedatanganku kembali ke rumah andong untuk kondangan itulah yang membuatku kaget. Suara Rahmat asli berubah! Lebih dalam. Jujur saja, aku tidak pernah tahu kapan perubahan suara lelaki, dari suara cempreng menjadi sedikit ‘berat’ dan dalam’. This is new matter for me! Hal inilah yang menjadi pembahasan kita, hee. Mengenai perubahan. Maklum, selama ini tidak ada pembelajaran yang menjadi pengamatanku karena terlahir sebagai anak bungsu. So. Lets we begin our study right now.


Apa sih masa remaja itu?
Teenagers menurut om wikipedia adalah periode transisi antara masa anak-anak hingga masa awal dewasanya yang dimulai pada usia belasan. Memasuki usia kira-kira 10-12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, karakterisktik perkembangan seksual seperti pembesaran buah dada bagi wanita dan perubahan pinggang dan munculnya kumis pada lelaki serta dalamnya suara. Pada perkembangan ini masih menurut psikologi, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu diluar keluarga. Disinilah sebenarnya peran keluarga terutama ibu dan ayahnya dibutuhkan. Begitupun dengan pendidik yang menjadi bagian dari kehidupannya di sekolah. Bukan untuk mengekang dengan melarangnya.
Tapi menurutku *lagak gw kaya uda punya anak aja. Memberi keteladananlah cara efektif dalam mendidik anak. Seorang anak jangan dilarang dalam perkembangannya. Biasanya pelarangan-pelarangan itulah yang membuat penasaran untuk dilakukan.
Sekali lagi keteladanan adalah hal yang harus dilakukan. Krisis keteladananlah yang akhir-akhir ini membuat kasus kalangan pelajar semakin marak. Banyaknya perbuatan yang sebenarnya menurut mereka adalah mencari jati diri dengan tawuran misalkan. Kalau dilihat dari tawuran, apa yang sebenarnya ingin mereka tunjukkan? Tentu saja diri mereka, siapa diri dan sekolah mereka. Sudah termasuk kuatkah yang ditandai dengan kemenangan ataupun kekalahan yang menandai kelemahan. Belum lagi bolos dan pacaran-pacaran bodoh yang rela menghabiskan uang jajan hanya untuk menyenangkan lawan jenis yang disukainya. Kalau melihat hal-hal seperti itu, hal utama yang dilakukan adalah flashback bagaimana keluarganya? Tak jarang anak-anak bermasalah terlahir dari keluarga brokenhome. This is just my opinion dengan melihat hal sekitar, membaca buku ataupun menonton. 

Kembali ke keteladanan, figur ayah dan ibu yang pengertianlah yang akan mempengaruhi karakter seorang anak kelak. Apakah ayahnya hanya bisa melarang anaknya pulang malam, sedangkan ia sendiri pulang larut malam. Apakah seorang ibu memperhatikan apa yang di’butuh’kan anaknya atau hanya sibuk berkutat dengan urusan arisan dan relasinya antara kalangan sosialita. Apakah orangtua hanya memberi segala fasilitas saja tanpa ada arahan tujuan hidup kepada anak-anaknya baik melalui kedekatan personal, arahan spiritualis dengan mengajarkan agama kepada anaknya sejak kecil. Kalau tidak sempat mengajarkannya mengaji, Sudahkah mendaftarkannya ke sekolah mengaji? Atau memanggil guru ngaji ke rumah? Atau berdalih karena bersekolah di sekolah berkapasitas Internasional yang sayangnya tidak berkurikulum pelajaran ‘agama’, jam sekolah dari pagi sampai sore membuat alasan anak capek dan tidak mengajarkannya agama. Kalau seperti ini terus, seperti apa bangsa ini dimasa depan yang kelak dipimpin oleh pemuda pemudi masa ini.
Dalam perkembangannya quality time atau quantity time memiliki porsi masing-masing. Quality time adalah hal yang utama, banyak orang yang berkomentar seperti ini karena dalih akan kesibukan mereka tentunya. Tidak, menurut gw keduanya sama penting. Quality time memang sangat dibutuhkan, artinya kita memang harus memiliki moment yang hangat dalam keluarga yang biasa banyak dipakai pada saat weekend. Jarang bertemu atau quantity time itulah yang akhirnya membuat krisis keteladanan terjadi. Bagaimana mau meneladani sikap ayah atau ibunya kalau keduanya saja jarang terlihat dirumah. Bagaimana bisa seorang satpam, bibi dapur, nanysitter, dan tukang kebun bisa menggantikan tugas yang harusnya dilakukan oleh orang tuanya. Quantity time tanpa quality time pun sama tidak baiknya. Sering menghabiskan waktu bersama anak tapi tanpa melakukan hal berkualitaspun tidak baik. Wujud ibunya ada di rumah, tapi seperti tidak ada karena asyik ‘bergosip’ ataupun ‘berdagang’ dengan benda persegi empat yang bernama BB itu juga berbahaya. So, emang harus ada keduanya baik kualitas atau intensitas waktu yang disediakan untuk anak.
Wah, sepertinya kepanjangan ya? Tapi itulah hal-hal yang bikin nyesek dan gatel tangan untuk menuliskan hal ini. Sebelum diakhiri, aku akan kembali ke ‘sosok’ yang menjadi inspirasi nulis soal peralihan masa ini.
Kembali ke Rahmat. Hal yang menonjol berubah darinya ialah dari suaranya sendiri. Suara semakin ‘dalam’ dan postur tubuhnya yang mulai meninggi. Aku juga iseng nanya waktu itu, “Bang, lu udah mimpi basah?” karena enggan ataupun merasa malu menjawabnya ia hanya pergi meniggalkanku sambil berkata ‘Ih, apaan si ka Una?!” hahaha. Belum lagi kebiasaanku yang sering merangkulnya karena masih menganggapnya sebagai anak kecil mulai ia tolak. Begitu kurangkul, ia merasa malu dan pergi menjauh. Hahaha. Ternyata seperti itu ya perubahan dari masa kanak yang begitu manja dan masa bodoh kalau ia tidak memakai baju didepanku. Padahal 2 tahun yang lalu, ketika ia masih SD, keluar kamar mandi dengan tidak memakai celana saja dia berani lewat di depanku. Berbeda dengan sekarang, ketika masa remaja itu menghampiri, ia mulai terlihat malu dan berhati-hati dengan sikapnya. 

Welcome to adolescence bang Rahmat!!! Moga bisa semakin sholeh, dewasa dan pintar. Inget, kalau emang masih niat jadi pemain bola, kudu latihan dari sekarang. Latih juga mental dan agama bang, biar entar bisa maen bola sambil berdakwah, aamiin.



[1] Andung adalah sebutan nenek dalam bahasa melayu. Jadi ceritanya menurut tuturan kita panggil beliau andung, padahal beliau masih muda. Sama kaya gw yang mabih brumur 23 tahun ini tapi menurut tuturan sudah ada yang panggil gw oma. Dan kalau tuturan ini tidak dilakukan, misalkan orang  yang jauh lebih tua daripada gw males nyebut gw ‘ibu’, maka tak jarang para sesepuh terutaa buyaku memarahi kami.

Posting Komentar

0 Komentar